Seni Budaya Bali dan Pergulatan Identitas di era Pariwisata Bali

Bali yang memiliki potensi seni budaya sebagai identitas yang cukup dikenal oleh
dunia luar, menyebabkan Bali dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata. Pengembangan
Bali sebagai daerah tujuan wisata telah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak
awal abad 20. Berdasarkan Inpres itu, Bali dijadikan pilot proyek tujuan wisata, karena
potensi seni budaya Bali telah banyak di promosikan di luar negeri. Dikembangkannya Bali
sebagai daerah wisata, menimbulkan pergulatan identitas budaya antara kepentingan negara
dengan kepetingan daerah Bali. Negara membutuhkan devisa sedangkan pemeritah daerah
ingin mempertahankan identitas budaya Bali sebagai bagian dari kegiatan keagamaan.
Dengan demikian maka, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji seni pertunjukan sebagai salah
satu warisan seni budaya Bali, ditengah-tengah pergulatan identitas itu. Fokus kajian dalam
tulisan ini adalah bagaimana perkembangan seni pertunjukan tradisional Bali dalam
pergulatan itu? dan, bagaimana pemerintah daerah Bali mempertahankan identitas seni
budaya?. Untuk mengkaji permasalah di atas digunakan metode penelitian kwalitatif, dengan
teori hegemoni. Hasil kajian ini menunjukan bahwa seni pertunjukan tradisional Bali
mengalami sekularisasi, dan konsep pariwisata budaya mengalami perubahan menjadi
industri wisata.
Keperihatian terhadap identitas Bali telah banyak diungkap dalam beberapa tulisan
seperti oleh Jean Coteau dan Usadi Wiryatnaya dalam bukunya, Bali di Persimpangan Jalan
Sebuah Bunga Rampai. Denpasar: Nusa Data Indo Budaya, 1995; Henk Schulte Nordholt,
dalam bukunya, Bali Benteng Terbuka 1995-2005 Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral
dan identitas-Idenitas Defensif. Denpasar: Pustaka Larasan, 2007. Keperihatinnya itu
memberikan gambaran bahwa Bali dengan identitasnya yang khas, seperti seni budaya,
agama, adat istiadat dan tradisi telah tercabik cabik oleh sistem pemerintahan dengan
desentralisasi dengan otonomi daerah telah berdampak pada dinamika konflik ditingkat lokal.
Perkembangan pariwisita juga telah memberikan gambaran bahwa identitas Bali yang
dikuatkan dengan seni budaya telah kehilangan oroginalitas, autentisitas dan unisitas
(keutuhan) sebagai dampak dari pengembangan pariwisata yang berorientasi pada
kepentingan-kepentingan kapitalis.
Akan sangat penting untuk mengkaji kepentingan colonial yang terdapat dibalik
peristiwa berkembangnya Balisering. Bagaimanapun pemerintah kolonial Belanda tetap ingin
menguatkan kekuasaannya serta mengeksploitasi Bali untuk mendapatkan keuntungan bagi
pemerintah colonial. Pariwisata yang dikembangkan di Bali berdasarkan Instruksi Presiden
No 9 tahun 1969 mengisyaratkan adanya sistem jual beli yang berorientasi uang. Artinya
pariwisata yang mengarah pada indsutri budaya. Hal ini menimbulkan keprihatinan bagi
intelektual, seniman dan budayawan mengenai dampak bagi seni budaya Bali yang telah
dikenal merupakan identitas Bali di mata dunia luar.
Berkembangnya industry budaya sebagai konsumsi wisata telah mendorong
pariwisata Bali masuk ke dalam sistem kapitalis. Sistem kapitalis dalam hal ini adalah sistem
ekonomi yang memiliki aspek ganda artinya, disatu pihak memiliki nilai guna (use value),
dan di lain pihak memiliki nilai tukar (exchange value) (Giddens, 2009 : 57). Fenomena
kesenian Bali telah berkembang menjadi industri budaya yang memiliki nilai guna dan juga
diperjual belikan kepada wisatawan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Bali.
Akan sangat dapat dipahami bahwa parwisata Bali adalah bagian dari mata pencaharian orang
Bali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian maka kesenian Bali masuk
kedalam arena produski cultural. Arena produksi cultural dibedakan menjadi dua sub arena,
yaitu arena produksi terbatas dan arena produksi sekala besar