Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali

Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali
Pulau Bali juga disebut sebagai „Pulau Seribu Pura‟. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai “sentra rohani”. Permasalahan yang muncul: Apa saja yang melatarbelakangi perkembangannya dan bagaimana sebaiknya konsep rancangan sebuah pura ke depan? Tujuan dilakukan penelitian ini adalah guna lebih dalam mengetahui dan memahami tentang riwayat perkembangan rancangan bangunan suci di Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif interpretatif, dengan menggali sumbersumber prasasti yang ada. Melakukan studi literatur, serta mewawancarai tetua/penglingsir yang dianggap pakar atau sebagai panutan yang paham akan nilai-nilai dan sejarah tradisi. Khususnya yang menyangkut ikhwal perkembangan bentuk, fungsi, dan nilai-nilai ruang bangunan suci di Bali. Prasasti sering menyebutkan bahwa gunung dan bukit sebagai sthana para dewa. zaman dulu, tempat – tempat tinggi di Bali, di hulu atau di tanah bervibrasi suci, orangorang membuat suatu bangunan peribadatan, meski sederhana dan sifatnya sementara. Manfaat yang akan diperoleh adalah masyarakat akan menjadi lebih paham perihal riwayat perkembangan bangunan suci di Bali ini. Masyarakat juga akan lebih mengerti dan paham tentang hubungan yang fi losofikal antara bentuk-bentuk bangunan suci yang dilahirkan dari satu periode (awal) hingga perkembangannya seperti yang bisa dijumpai saat ini. Perkembangan bangunan rong telu lalu disesuaikan dengan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), bermanifestasi selaku pencipta, pemelihara dan pelebur. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Dari pengaruh konsep ini bangunan rong telu berfungsi ganda, selain untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, pun untuk memuja Sang Hyang Tri Murti. Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara-Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di Sanggah Pamerajan dibuat lagi bangunan balai-balai yang disebut Balai Piyasan (balai untuk Bhatara-Bhatari berhias). Kendati sudah mendirikan Sanggah Kemulan, mereka juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci aslinya. Dengan demikian, tak bisa dipungkiri jika palinggih-palinggih di dalam Sanggah Pamerajan relatif jumlahnya dan bisa mencapai belasan buah, kadang bisa lebih. Kemudian muncul palinggih-palinggih baru untuk memuja para Dewa, seperti bangunan: Tumpang Salu, Sakapat, Tugu, Meru, Bebaturan, dan Gedong Sari. Dalam suatu Desa yang terdiri dari beberapa klen atau warga yang berbeda-beda leluhurnya, masyarakat membangun tempat suci bersama, berupa tiga buah pura yang dikenal dengan Kahyangan Tiga. Di dalam pura-pura itulah mereka berkumpul menyama braya dan berbarengan memuja dewa-dewa yang bersemayam di dalam pura tersebut. Ketiga pura yang dimaksud adalah: Pura Puseh, Pura Desa/Bale Agung, dan Pura Dalem. Kedatangan Mpu Kuturan, Rsi Markandya, dan Dang Hyang Nirartha ke Bali beberapa abad lalu membawa perubahan penting dalam tata keagamaan di Bali. Ketika itu Mpu Kuturan menganjurkan beberapa perubahan dalam tata keagamaan di Bali, seperti pembuatan Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat, selain mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, berupa ragam jenis upacara dan jenis-jenis pedagingan. Penyempurnaan kehidupan agama Hindu dilakukan pula oleh Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada abad ke-15, di era pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel-Klungkung. Beragam profesi tumbuh di masyarakat, berbagai tempat suci atau pura pun bermunculan. Para nelayan yang umumnya bermukim di pesisir, mencari penghidupan di laut. Laut dianggap bisa memberi kehidupan, lantas masyarakat nelayan mendirikanPuraSegara atau Pura Pabean. Yang memiliki profesi sebagai petani pengolah tanah basah, mereka akan terikat kepada air yang dianggap sebagai sumber kehidupannya. Mereka bersatu pula untuk mendirikan pura-pura yang dekat dengan sumber air. Misalnya semacam Pura : Ulun Danu, Pura Siwi, Pura Bedugul, Pura Masceti, yang berfungsi sebagai pura kemakmuran. Profesi lain sebagai pedagang memerlukan pula tempat pemujaan dalam wujud pura, seperti Pura Melanting. Umumnya pura ini didirikan di dalam suatu pasar, dipuja para pedagang dalam lingkungan tersebut.
× Image Alt