Pura, Agama, dan Masyarakat Bali

Pura, Agama,
dan Masyarakat Bali, mungkin merupakan satu dari sedikit
orang yang mendapat kesempatan langsung menyaksikan dari
dekat hampir seluruh rangkaian upacara Eka Dasa Rudra yang
digelar di Pura Besakih tahun 1979 silam. Sebuah pengalaman
yang sangat langka. “Ekadasa Rudra adalah upacara terbesar
yang dikenal dalam Hindu Bali. Upacara ini hanya dilakukan
di Besakih. Secara visual upacara tersebut sangat memesona”,
komentarnya.
Buku ini memang tidak secara spesifik membicarakan
rangkaian pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra tahun 1979
itu karena sudah diterbitkan tersendiri. Buku ini merupakan
satu penelitian antropologi, sejarah, dan sosiologi ‘paling
komprehensif’ tentang Pura Besakih hingga abad XX (1987) yang
diketahui sampai saat ini.
agi masyarakat Bali Pura Besakih adalah huluning jagat Bali
atau ‘Kepalanya Pulau Bali’. Kepala merupakan bagian yang
paling atas dari struktur tubuh seorang manusia normal. Kepala
memiliki kedudukan yang sangat penting, yang oleh orang Bali
disebut sebagai tempat Siwadwara, yaitu sebagai pintu masuk dan
keluarnya roh yang Maha Agung (Siwa) secara mistis melalui
ubun-ubun. Oleh sebab itu, kepala memiliki kedudukan yang
sangat penting bagi orang Bali yang beragama Hindu. Sebagai
lawan daripada hulu (kepala, gunung) adalah tebèn (kaki, laut).
Istilah hulu- tebèn sangat dikenal dalam konteks tataruang Bali.
Hulu adalah tempat yang (dianggap) suci dan tebèn adalah
tempat yang (dianggap) tidak suci (leteh). Selebihnya setiap ruang
dianggap memiliki sisi hulu maupun tebèn.
Hulu merupakan tempat bersemayamnya para Dewa dan
roh-roh yang telah suci, tebèn merupakan tempat bersemayamnya
kekuatan jahat dan roh-roh yang belum disucikan seperti kuburan
dan sebagainya. Namun demikian hulu dan tebèn merupakan dua
kutub yang tidak bisa dipisahkan dalam konsep rwa bhineda (dua
yang berbeda). Sebagai huluning jagat Bali, Pura Besakih ‘dengan
sendirinya’ dianggap sebagai tempat yang sangat suci dan juga
sangat dikeramatkan.